BAB IV
METODE STIMULSI DAN INTERVENSI
A. METODE
INTERVENSI DINI
Contoh :
Anak yang mengalami kesulitan belajar
Metode
intervensi dini bagi kesulitan belajar perkembangannya sampai saat ini belum
terstruktur secara khusus.Berbeda dengan anak-anak penyandang down sindrom,
penyandang autistic spectrum disorder (ASD), penyandang Cerebral Palsy (CP) dan
lainnya yang sudah memiliki program terstruktur dengan lembaga pendidikan
maupun layanan intervensi dini yang khusus.Anak berkebutuhan khusus (ABK),
penanganan intervensi dininya seperti ‘ada dan tiada’, karena mereka tersebar
di lembaga-lembaga pendidikan anak usia dini umum dan mendapatkan perlakuan
umum yang tentu saja kurang menguntungkan bagi perkembangan kepribadiannya.
Untuk jenis
masalah kebutuhan khusus anak, pemberlakuan layanan intervensi dini pada jenis
masalah anak berbeda, misalnya saja anak yang mengalami masalah autisme perlu
melakukan deteksi dini sejak dalam kandungan, deteksi dini saat anak dilahirkan
hingga usia 5 tahun melalui cara pengamatan maupun skrening, dengan cara CHAT
(Checklist Autism in Toddlers, biasanya dilakukan pada anak diatas usia 18
bulan).
B. METODE STIMULASI
:
Metode simulasi
merupakan salah satu metode mengajar yang dapat digunakan dalam pembelajaran
kelompok. Proses pembelajaran yang menggunakan simulasi cenderung objeknya
bukan benda atau kegiatan yang sebenarnya, melainkan kegiatan mengajar yang bersifat
pura-pura. Kegiatan simulasi dapat dilakukan oleh siswa pada kelas tinggi di
Sekolah Dasar. Dalam pembelajaran, siswa akan dibina kemampuannya berkaitan
dengan keterampilan berinteraksi dan berkomunikasi dalam kelompok. Disamping
itu, dalam metode simulasi siswa diajak untuk bermain peran beberapa perilaku
yang dianggap sesuai dengan tujuan pembelajaran.
Ada beberapa
jenis model simulasi di antaranya, yaitu:
1. Bermain peran (role
playing)
Dalam proses pembelajarannya
metode ini mengutamakan pola permainan dalam bentuk dramatisasi. Dramatisasi
dilakukan oleh kelompok siswa dengan mekanisme pelaksanaan yang diarahkan oleh
guru untuk melaksanakan kegiatan yang telah ditentukan / direncanakan sebelumnya.
Simulasi ini lebih menitik beratkan pada tujuan untuk mengingat atau
menciptakan kembali gambaran masa silam yang memungkinkan terjadi pada masa
yang akan datang atau peristiwa yang aktual dan bermakna bagi kehidupan
sekarang.
2. Sosiodrama
Dalam pembelajarannya yang
dilakukan oleh kelompok untuk melakukan aktivitas belajar memecahkan masalah
yang berhubungan dengan masalah individu sebagai makhluk sosial. Misalnya,
hubungan anak dan orangtua, antara siswa dengan teman kelompoknya.
3. Permainan
simulasi (Simulasi games)
Dalam pembelajarannya siswa
bermain peran sesuai dengan peran yang ditugaskan sebagai balajar membuat suatu
keputusan.
-
Karakteristik
Metode Simulasi
Metode mengajar
simulasi banyak digunakan pada pembelajaran IPS, PKn, Pendidikan Agama, dan
Pendidikan Apresiasi. Pembinaan kemampuan bekerjasama, komunikasi dan interaksi
merupakan bagian dari keterampilan yang akan dihasilkan melalui
pembelajarn simulasi. Metode mengajar simulasi lebih banyak menuntut aktivitas
siswa sehingga metode simulasi sebagai metode yang berlandaskan pada pendekatan
CBSA dan keterampilan proses.
Disamping itu,
metode ini dapat digunakan dalam pembelajaran berbasis konstektual, salah satu
contoh bahan pembelajaran dapat diangkat dari kehidupan sosial, nilai-nilai
sosial maupun permasalahan-permasalahan sosial yang aktual maupun masa lalu
untuk masa yang akan datang. Permasalahan- permasalahan yang berkaitan dengan
nilai-nilai kehidupan sosial maupun membentuk sikap atau perilaku dapat
dilakukan melalui pembelajaran ini.
Langsung maupun
tidak langsung melalui simulasi kemampuan siswa yang berkaitan dengan bermain
peran dapat dikembangkan. Siswa akan menguasai konsep dan keterampilan
intelektual, sosial, dan motorik dalam bidang-bidang yang dipelajarinya serta
mampu belajar melalui situasi tiruan dengan sistem umpan balik dan
penyempurnaan yang berkelanjutan.
-
Prosedur
Prosedur metode
simulasi yang harus ditempuh dalam pembalajaran adalah sebagai berikut:
1. Menetapkan
topik simulasi yang diarahkan oleg guru
2. Menetapkan
kelompok dan topik-topik yang akan dibahas
3. Simulasi
diawali dengan petunjuk dari guru tentang prosedur, teknik, dan peran
yang dimainkan
4. Prose
pengamatan terhadap proses, peran, teknik, dan prosedur dapat dilakukan dengan
diskusi.
5. Kesimpulan dan
saran dari kegiatan simulasi
Menurut
Suwarna, M.Pd Langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam melaksanakan
simulasi alah:
a. Menentukan
topik serta tujuan yang ingin dicapai
b. Memberikan
gambaran tentang situasi yang akan disimulasikan
c. Membentuk
kelompok dan menentukan peran masing-masing
d. Menetapkan
lokasi dan waktu pelaksanaan simulasi
e. Melaksanakan
simulasi
f. Melakukan penilaian
-
Prasyarat yang mengoptimalkan Pembelajaran Simulasi
Untuk menunjang
efektivitas penggunaan metode simulasi perlu dipersiapkan kemampuan guru meupun
kondisi siswa yang optimal. Dibawah ini dijelaskan tentang kemampuan guru dan
kondisi siswa guna mendukung efektivitas metode simulasi dalam pembelajaran.
Kemampuan guru
yang harus diperhatikan untuk menunjang metode simulasi di antaranya:
a. Mampu
membimbing siswa dalam mengarahkan teknik, prosedur, dam peran yang akan
dilakukan dalam simulasi.
b. Mampu
memberikan ilustrasi
c. Mampu menguasai
pesan yang dimaksud dalam simulasi tersebut.
d. Mampu mengamati
secara proses simulasi yang dilakukan oleh siswa
Adapun kondisi
dan kemampuan siswa yang harus diperhatikan dalam penerapan metode simulasi
adalah:
a. Kondisi, minat,
perhatian dan motivasi siswa dalam bersimulasi
b. Pemahaman
terhadap pesan yang akan menstimulasikan
c. Kemampuan dasar
berkomunikasi dan berperan
-
Keunggulan
Beberapa keunggulan
penggunaan metode simulasi diantaranya adalah:
a. Siswa dapat
melaksanakan interaksi sosial dan kominikasi dalam kelompoknya.
b. Aktivitas siswa
cukup tinggi dalam pembelajaran sehingga terlibat langsung dalam pembelajaran.
c. Dapat
mebiasakan siswa untuk memahami permasalahan sosial , hal ini dapat dikatakan
sebagai implementasi pembelajaran yang berbasis konstekstual
d. Melalui
kegiatan kelompok dalam simulasi dapat membina hubungan personal yang positif
e. Dapat
membangkitkan imajinasi
f. Membina hubungan komunikatif dan kerjasama dalam kelomok
-
Kelemahan
Namun demikian, dalam metode simulasi masih tetap ada kelemahan atau
kendala-kendala yang kemungkinan perlu diantisipasi oleh para guru jika
akan menerapkan metode ini, diantaranya adalah:
a.
Relatif
memerlukan waktu yang cukup banyak
b. Sangat
bergantung pada aktivitas siswa
c. Cenderung
memerlukan pemanfaatan sumber belajar.
d. Banyak
C.
CONTOH METODE STIMULASI MUSIK
Perlu kita
ketahui bagaimana anak belajar dengan kondisi mereka yang dalam tahap
perkembangan. Kita (guru, calon guru, pemerhati pendidikan anak usia dini)
sudah seharusnya memperhatikan perkembangan anak dalam tiap perencanaan
stimulasi yang akan diberikan.
Dengan mengetahui
perkembangan anak, maka kita akan lebih yakin akan penggunaan pendekatan
pembelajaran yang sesuai
untuk anak.
Berikut
Pestalozzi dalam Cathy (2009: 216) menyatakan hal-hal yang dilakukan terkait
pembelajaran ataupun stimulasi yang akan diberikan pada anak:
·Arrange all objects in the world according to their
likeness (Perencanaan pengenalan sesuatu hal baru pada anak hendaknya
memperhatikan kemiripan dengan alam sekitar).
Melihat
pernyataan ini maka segala sesuatu yang digunakan untuk mengenalkan hal baru
pada anak adalah ciptaan manusia. Dalam lingkup seni, semua barang ciptaan
manusia yang mengandung keindahan disebut karya seni, sehingga setiap benda
yang tercipta namun tidak ada campurtangan manusia (murni ciptaan Tuhan YME)
tidak dapat disebut karya seni namun justru karya yang Maha Indah. Dari
penjelasan ini dapat diberikan tambahan keterangan bahwa dalam mengenalkan hal
baru pada anak, kita juga dapat secara langsung
memanfaatkan
benda asli ciptaan Tuhan YME. Hal ini mungkin akan sedikit membuka kemudahan
pada kita yang seakan memaknai item 1 dengan sebuah keharusan untuk menyiapkan
bahan ciptaan manusia. Hal ini pula mungkin dapat kita lihat dari sudut pandang
ekonomi karena bukan tidak mungkin di daerah tertinggal sangat minim akan alat
permainan edukatif untuk anak usia dini.
·Strengthen the impressions of important objects by
allowing them to affect you through different senses (mendukung setiap kegiatan
ekspresif yang dilakukan anak menurut cara anak itu sendiri dalam proses
penilaian terhadap karya seni).
Tentunya
untuk melakukan hal ini kita perlu juga melihat sifat-sifat anak dalam
perkembangannya dengan cara mencari informasi terbaru tentang indikator
pencapaian perkembangan seni musik terbaru dari berbagai sumber. Diantaranya
dalam seni rupa, mungkin akan timbul perilaku ketidakpedulian anak akan
realitas lingkungan yang ada. Mungkin suatu saat anak akan mewarnai matahari
menggunakan warna selain warna sebenarnya (matahari terbit menggunakan
warna biru,
dan semacamnya).
·In every subject try to arrange graduated steps of
knowledge, in which every new idea shall be only a small, almost imperceptible
addition to that earlier knowledge which has been deeply impressed and made
unforgettable (dalam setiap pembelajaran yang Anda lakukan cobalah untuk
menyusun item perkembangannya dimana setiap ide baru yang Anda susun mengandung
kesederhanaan yang hampir tidak menanggapi pengetahuan sebelumnya yang berkesan
mendalam dan tidak terlupakan. Sebagai contoh dalam bidang musik, sebelum
dilakukan kegiatan musik, guru hendaknya menyiapkan item apa yang hendak
diamati yang salah satunya dapat menggunakan perkembangan anak dalam bidang
seni (kecerdasa musikal).
Perlu
digarisbawahi bahwa memulai pengenalan pada anak, lakukan dari hal yang paling
sederhana baru menuju tingkat selanjutnya. Sebgai contoh kecil yaitu, siapkan
tepuk berirama dengan menggunakan sedikit pola irama, gunakan satu pola tepukan
saja dan lakukan berulang-ulang.
·Learn to make the simple perfect before going on to
the complex (mulailah dari hal sederhana dan setelah itu baru menuju hal yang
lebih kompleks).
Dalam diri
anak terdapat ciri khas yaitu kesederhanaan. Kemudian bagaimana untuk
mengajarkan seni pada anak terkait salah satu sifat kesederhaan ini? Sedangkan
kita tahubahwa ada ciri khas yang lain yaitu cara belajar anak dengan cara
diulang-ulang. Terkait dengan ciri khas tersebut maka berikut akan dibahas beberapa
pendekatan pembelajaran pada anak.Musik dapat digolongkan menjadi jenis musik
alat dan musik vokal. Terkait dengan penggolongan tersebut maka dalam musik
alat ada beberapa metode yang
dapat
digunakanan untuk anak usia dini.
Campbell
& Kassner (2010) 3menyebutkan dalam bukunya ”Musik in Childhood” bahwa cara
pengenalan musik pada anak paling awal adalah oleh Emile Jaques Dalcroze
(1865-1950) yang disusul oleh Zoltán Kodály (1882-1967) kemudian Carl Orff
(1895-1982) dan berkembang pada pemerhati musik lainnya sampai sekarang.
·Pendekatan Dalcroze Eurhythmics Kassner (2006: 45)
bahwa ”Movement with a mission isone of the Dalcroze approach to musik
instruction”.
Inti dari
pendekatan pembelajaran musik untuk anak jenis Dalcroze ini adalah gerak dan
musik. Mengenai asal-usul metode Dalcroze ini maka menurut Kassner (2006: 45) dinyatakan
bahwa penemu pendekatan pembelajaran musik Dalcroze ini adalah Émile
Jaquest-Dalcroze (1865-1950). Beliau adalah seorang musikus Swiss yang bertindak
sebagai guru besar dalam ilmu solfège, harmoni, dan penggubah ataupun dapat
dikatakan composer di Geneva Conservatory(sekolah musikGeneva). Keahliannya
dimulai saat meneliti pendekatan pembelajaran ear-training
(melatih
kepekaan musik melalui pendengaran). Dalcroze memulai perlakuan musikal bagi
peserta didik dengan cara pemanasan irama dengan lebih dulu mengaktifkan
pernapasan diafragma dan fungsi artikulasi. Murid menyanyikan aransemen dengan
skala vocal yaitu do-re, re-mi, mi-fa, fa-sol, sol-la, la-si, dan selanjutnya.
Selain itu juga menyanyikan tiga nada seperti do-re-mi, re-mi-fa, mi-fa-sol,
dan selanjutnya. Kedua hal ini dilakukan antara guru dan murid secara kanon dan
dengan kecepatan yang diubah-ubah. Dengan cara ini murid akan mengenal dan meningkat
dalam kepekaan musikalnya. Kassner menguraikan bahwa Dalcroze Eurhythmics
mempunyai deskripsi yang hampir sama seperti tari. Eurhythmics sendiri
mempunyai pengertian yaitu (Kassner, 2010: 124), aktititas Eurhythmics yaitu
kegiatan dimana anak diajak
untuk
“melakukan apa yang music lakukan padamu”. Hal itu dapat dirancang dalam
tahapan perkembangan berdasarkan kemampuan fisik anak.
Anak-anak mulai
usia prasekolah sampai dengan umur 6 tahun dapat dimotivasi penggunaan anggota
badan mereka sebagai ilustrasi unsure music tertentu. Diantaranya dengan cara
melangkahkan kaki ketika mendengar ketukan, menghitung ketukan, 4menirukan
melodi,mengulangpola irama, menggambarkan melodi menggunakan unsur seni rupa
(garis misalnya), anak dapat memainkan konsep music tanpa kata-kata. Melalui Eurhythmics anggota badan anak menjadi sebuah alat music personal
untuk merealisasikan music dari bentuk sederhana menjadi lebih menantang.
Pendekatan Dalcroze mempunyai tiga hal yang terdiri dari 1) bentuk khas gerakan
berirama yang disebut Eurhythmics, 2) ear training(pelatihan pendengaran) atau
dikenal dengan nama lain yaitu solfege, dan 3) improvisasi. Pertama dimulai
dari gerak berirama yang mengaktifkan fungsi dari diafragma, paru-paru, dan
artikulasi (pengucapan) dari mulut dan lidah. Pengaktifan organ untuk menyanyi
ini kemudian diekspresikan lebih lanjut oleh para peserta latih dai Prof.
Jaques Dalcroze dengan menyanyikan dua nada dalam skala nada do-re, re-mi, mi-fa,
dan seterusnya. Kemudian dalam jenis tiga nada seperti dore-mi, re-mi-fa,
mi-fa-sol, dan seterusnya dimana kegiatan ini dilakukan secara kanon
(berkejar-kejaran vokal) bersama guru. Kesemuanya itu dapat dilakukan dengan
tingkat kecepatan dan tanda dinamik yang berbeda-beda. Sampai pada saatnya
metode Eurhythmics ini berkembang anak-anak berkembang pada irama dengan kuat
dan kepekaan untuk mengikuti kegiatan tersebut dalam membedakan durasi, waktu,
intensitas, dan pemenggalan lagu. Anak menjadi terampil menirukan cepat-lambat
lagu, irama, dan ketukan musik menggunakan badan dalam reaksi mereka dalam
perubahan unsur musik yang terjadi selama kegiatan dilakukan. Ear trainingatau
pelatihan pendengaran termasuk solfege dan solfege-rhythmique adalah unsur kedua
dalam metode Dalcroze. Anak-anak dikenalkan untuk mengerti akan nada tonedan
semitone(contoh: pada kualitas nada mi-fa dan si-do. Nada toneadalah kualitas
nada selain contoh pada semitone). Kesemuanya itu dihubungkan melalui skala,
lagu, dan penggalan musik.
Komponen ketiga
dari metode Dalcroze adalah improvisasi. Berikan kesempatan kepada anak untuk
berekspresi bebas melalui gerak ataupun berkata yang mengandung irama
menggunakanalat musik ataupun alat di sekitar anak. Dimulai dengan menirukan
secara benar terhadap contoh yang diberikan guru.
Anak juga dapat menirukan dengan benar contoh dari bunyi pasangan melodi,
irama, dan gerak. Anak pada akhirnya mendapatkan serangkaian gerak dan ide
musikal dimana mereka dapat mengekspresikannya sebagai sebuah improvisasi.
Sub metode Dalcroze yaitu Eurhythmics dan solfege adalah dasar pengetahuan
musikal untuk melakukan improvisasi.
Dalam pelaksanaan pembelajaran musik, Kassner (2006: 46)juga menyatakan
bahwa anggota tubuh anak itu sendiri dapat digunakan sebagai media pembelajaran
musik. Misalnya: hands (tangan), arms (lengan), head (kepala), shoulders
(pundak), dan perpaduan diantara anggota tubuh. Halini senada dengan tema yang
ada dalam pembelajaran pada anak usia dini diantaranya adalah tema ”diri
sendiri”.
Berikut contoh
aktivitas pembelajaran musik berdasarkan metode Dalcroze (Kassner, 2006: 47-48).
Untuk melatih eurhythmics dapat dilakukankegiatanberikut:
Guru
memberikan ketukan musikal menggunakan drum dan anakmengekspresikannya dengan
gerakan berjalan sesuai irama drum. Sebaliknya,ketika guru memainkan not diam
saat bermain drum maka anak-anak diam ditempat dan bertepuk tangan sebagai
pengganti ekspresi not diam. Membuatsatu pola irama saja dirasa sudah memenuhi
sifat sederhana pada anaksehingga yang dilakukan guru adalah menyusun satu pola
saja dan mainkansecara berulang-ulang. Hal ini sebagai langkah awal untuk
kemudianmengajak anak untuk menirukan pola irama yang lain. Sebagai catatan
bahwapola irama yang digunakan usahakan tidak terlalu banyak sehingga anakterbebani
untuk menirukannya. Cukup minimal 3 pola irama dengan tidak menutup kemungkinan
untuk lebih dari jumlah tersebut pada anak-anak yangmempunyai bakat seni musik
yang tinggi.
Hal penting yang perlu diperhatikan adalah bahwa kualitas nada pertama
adalah nada dengan kualitas bunyi, bukan diam. Hal ini karena anak akan
cenderung memainkan kualitas bunyi pada saat bermain tepuk bersama-sama.
Cobalah mengembangkan bentuk lain dari jenis pola irama tersebut!
·Anak-anak
menirukan ritme yang dimainkan guru menggunakan alat musik perkusi tak bernada
standar (drum set, cow bell, dan semacamnya) maupun hasil kreasi (botol minuman
dipukul dengan potongan kayu, dan semacamnya). Ritme yang dimainkan guruberasal
dari melodi sebuah lagu atau jika memungkinkan berasal dari alat musik melodis
(piano, gitar, biola, dan semacamnya) yang guru kuasai dirasa akan juga baik.
Untuk
melatih solfege berikut beberapa kegiatan musik yang dapat dilakukanoleh guru
(Kassner, 2006: 47), yaitu:
Ketika
menghitung ketukan pada birama 4/4, guru dan anak menyanyikanbersama suku kata
(silabi) solfege sebagai berikut do-re-mi-fa-sol-la-si-do.Satu nada pada satu
ketuknya, menyanyikan secara naik-turun.
Guru dan
anak menyanyikan skala tertentu dengan cara naik kemudianturun dengan aba-aba.
Dalam isyarat tertentu, skala tersebut dinyanyikanduakali lipat kecepatannya
dan sebaliknya.
Tunjukkan
gerakan tangan yang terbuka lebar di depan anak sebagai tandauntuk nadatonepenuh.
Tunjukkan tangan setengah tertutup kepada anaksebagai tanda untuk nadasemitone(mi
ke fa dan si ke do). Gerakan tangandapat dikreasi dalam gerak kaki yaitu
melompat untuktonedan gerakpendek saat mengangkat kaki untuksemitone.Untuk
melatih improvisasi berikut beberapa kegiatan musik yang dapat dilakukan oleh
guru (Kassner, 2006: 48), yaitu:
Guru
berdiri di tengah anak-anak yang berdiri atau duduk melingkar.Selanjutnya, guru
memainkan ketukan berbirama 4/4 atau ketukan jenis lainkemudian meminta anak
untuk mengekspresikan kembali menggunakan alatmusik kesukaan anak.
Dapat pula,
satu kelompok anak memainkan frase tanya dalam sebuah lagumenggunakan alat
musik. Anak dapat memainkan ritmenya saja. Kemudiankelompok anak yang lain
menyahutnya dengan memainkan frase jawab darilagu yang dimaksud. Jika memungkinkan,
satu kelompok anak kemudiandiminta untuk berkreasi ritme frase tanya kemudian
dengan spontan pulakelompok lain menyahutnya dengan kreasi ekspresi frase yang
merekahasilkan.
Langkah-langkah
pembelajarannya adalah:
Dua anak,
si X dan si Y, membuat jembatan dengan cara mengkaitkankedua tangan masing-masing
setingi-tingginya sedangkan anak yang lain berjalan di bawah tangan si X dan si
Y.
Pada
kata-kata ”all built up” (jembatan yang dibangun), hanya satu tangansaja yang
saling berkait antara si X dan si Y.
Pada kata
”thought the chopper” (berpikir akan kebutuhan sebuah golok),maka jembatan
dibuat naik dan turun di punggung anak yang sedang lewat.
Pada kata
”off to prison” (diputuskan untuk dikurung) maka satu anak akan tertangkap pada
saat posisi jembatan turun dan anak tersebut disingkirkan dari barisan.
Pada kata
”take the key” (mendapatkan kunci) maka si anak yangtertangkap tersebut dikembalikan
lagi ke dalam barisan
D.
CONTOH LAPORAN HASIL STIMULASI DAN INTERVENSI PDA ANAK
1. Identitas Anak
Nama Lengkap
: Kireina Saiwana Riffa
Nama
Panggilan
: Neng Kirei
Tempat Tanggal
Lahir : Bandung, 14 Oktober
2007
Usia
: 3 Tahun 1 bulan
Alamat
: Jl. Cilimus No 81 Rt 07/06 Bandung
Nama
Ayah
: Wahid
Pekerjaan
Ayah
: Wirasswasta
Nama
Ibu
: Lilis
Pekerjaan
Ibu
: Ibu Rumah Tangga
2. Permasalahan
Anak
Anak tidak dapat duduk tenang pada
saat makan.
3. Tujuan
Stimulasi / Intervensi
Tujuan dari stimulasi/intervensi
yang dilakukan oleh kelompok kami adalah merubah perilaku anak pada saat makan.
Dari anak tidak bisa duduk tenang pada saat makan menjadi anak dapat duduk
tenang pada saat makan.
4. Target
Behavior
Anak dapat duduk tenang pada saat
makan dalam waktu 15 menit.
5. Satuan Ukuran
Satuan ukurannya adalah frekuensi,
dihitung berapa kali anak meninggalkan makanannya pada saat setiap kali makan.
6. Proses
Pelaksanaan
a) Lingkungan yang diperlukan
Lingkungan yang diperlukan adalah
lingkungan yang mendukung untuk anak dapat makan dengan baik tanpa harus
mondar-mandir kesana kemari selain dapat membahayakan anak seperti tersendak,
dsb juga melatih anak disiplin dan menerapkan pola hidup yang sehat dan
bersih. Lingkungan yang akan kami gunakan untuk intervensi adalah lingkungan
yang disetting secara alami, nyaman dan tenang pada saat anak makan yaitu
dirumah.
b) Pendekatan yang digunakan
Pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan behavioral, pandangan pendekatan ini menyatakan bahwa perilaku
harus dijelaskan melalui aspek-aspek dan proses yang dapat diamati. Filosofi
pendekatan behavioristik adalah empirisme bahwa perilaku manusia ditentukan
oleh lingkungan, bukan oleh faktor hereditas atau genetik. Anggapan dasar
behavioristik adalah bahwa perilaku merupakan fungsi dari apa yang terjadi
sebelumnya, perilaku tersebut bisa dibentuk, dirubah maupun dihilangkan.
Menurut hasil asesmen yang kami
peroleh dengan pendekatan behavioral ini kami bertujuan untuk merubah perilaku
anak agar sesuai dengan target yang ingin dicapai/ diharapkan pada aspek
ADL (activity daily living) yaitu pada saat makan dengan menggunakan teknik
token economy melalui cara menukar tingkah laku yang diinginkan/dicapai sesuai
target behavior dan pemberian reinforcement yang bisa diraba (berupa kupon
bergambar) dengan objek atau benda yang disukai atau di inginkan oleh anak yang
bersangkutan serta pujian secara verbal. Kemudian funisment yang diberikan
kepada anak adalah dengan cara mengambil salah satu token yang telah diperoleh
oleh anak.
c) Instrumen/media
Media yang digunakan adalah :
-
Makanan ;
1.Nasi
2. Mie, dan
3. Makanan yang dibentuk/divariasikan.
-
Alat makan,
-
Kupon bergambar
d) Skenario
Fase Baseline (A)
Fase baseline ini adalah hasil
asesmen, sebelum anak diberikan intervensi. Perilaku yang muncul adalah
anak tidak dapat duduk tenang pada saat makan (sering meninggalkan makanannya
lebih dari 5 kali pada setiap kali makan). Fase baseline ini dilakukan sebanyak
2 kali sesi (1 sesi; 1xPertemuan) kemudian dapat diperoleh data berapa
kali anak meninggalkan makanannya, pada sesi pertama fase baseline ini
dilakukan diluar rumah (di lab kampus) dan yang kedua dilakukan di rumah anak
yang bersangkutan.
Fase Intervensi (B)
a.
Sesi 1;
Anak diberi makan sesuai porsinya dengan ditemani oleh
ibunya dengan pemberian token, dan dilakkukan di rumah dengan ketentuan sebagai
berikut;
(1) Jika anak dapat
duduk tenang sampai selesai pada saat makan anak diberikan 3 token
(2) Jika anak tidak
dapat duduk tenang pada saat makan (meninggalkan makanannya sebanyak 1-2
kali) anak diberikan 2 token
(3) Jika anak tidak
dapat duduk tenang disaat makan ( meninggalkan makanannya sebanyak 3-4 kali)
anak diberikan 1 token
(4) Jika anak tidak
dapat duduk tenang pada saat makan ( meninggalkan makanannya lebih dari 5 kali)
anak diberikan funishment dengan cara mengambil 1 token dari jumlah token yang
sudah diperoleh
b.
Sesi 2;
Anak diberi makan sesuai porsinya dengan menu makanan
yang telah divariasikan bentuknya. Fase ini dilakukan dirumah.
c.
Sesi 3;
Anak diberi makan sesuai porsinya tanpa banyak
stimulus disekitarnya yang dapat mengganggu perhatiannya. Dengan menu makanan
yang sangat disukai anak dan di tempat yang membuat anak nyaman.
7. Hasil Pencatatan Data
Berikut hasil pencatatan data dalam bentuk tabel.
Berikut hasil pencatatan data dalam bentuk tabel.
1.
Fase baseline (A)
No
|
Tanggal
|
Waktu
|
Standarisasi waktu
|
Durasi
|
Meninggalkan makanan
|
Keterangan
|
1
|
04-10-2010
|
09.00 WIB
|
20 menit
|
17
|
12 kali
|
-
|
2
|
25-11-2010
|
16.00 WIB
|
20 menit
|
16
|
9 kali
|
-
|
2. Fase Intervensi (B)
No
|
Tanggal
|
Waktu
|
Standarisasi waktu
|
Durasi
|
Meninggalkan makanan
|
Keterangan
|
1
|
07-12-2010
|
18.30 WIB
|
20 menit
|
18
|
6 kali
|
-
|
2
|
08-12-2010
|
09.00 WIB
|
20 menit
|
20
|
4 kali
|
-
|
3
|
09-12-2010
|
19.00 WIB
|
20 menit
|
15
|
0
|
Dapat duduk tenang
|
Jadi intervensi yang kami lakukan dapat dikatakan
berhasil. Pada target awal waktu keberhasilan anak dapat duduk tenang adalah
selama 30 menit namun pada fase intervensi ternyata ketercapaian anak untuk
dapat duduk tenang bisa dalam waktu 15 menit dengan setting lingkungan yang
tenang, nyaman dengan menu makanan yang disukai anak atau makanan favorit
anak. Itu semua telah tercapai pada intervensi sesi ke tiga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar