BAB V
KAITANNYA
DENGAN ILMU LAIN
A. KAINTAN STIMULASI DENGAN MODEL
PEMBELAJARAN
1.
Pengertian Model Pembelajaran Simulasi
Simulasi
berasal dari kata simulate yang artinya berpura-pura atau berbuat
seakan-akan. Sebagai metode mengajar, simulasi dapat diartikan cara penyajian
pengalaman belajar dengan menggunakan situasi tiruan untuk memahami tentang
konsep, prinsip, atau keterampilan tertentu.
Model
pembelajaran simulasi merupakan model pembelajaran yang membuat suatu peniruan
terhadap sesuatu yang nyata, terhadap keadaan sekelilingnya (state of
affaris) atau proses. Model pembelajaran ini dirancang untuk membantu
siswa mengalami bermacam-macam proses dan kenyataan sosial dan untuk menguji
reaksi mereka, serta untuk memperoleh konsep keterampilan pembuatan keputusan.
Model
pembelajaran ini diterapkan didalam dunia pendidikan dengan tujuan mengaktifkan
kemampuan yang dianalogikan dengan proses sibernetika. Pendekatan simulasi
dirancang agar mendekati kenyataan dimana gerakan yang dianggap kompleks
sengaja dikontrol, misalnya, dalam proses simulasi ini dilakukan dengan
menggunakan simulator.
2.
Apa Saja Tujuan Model Pembelajaran Simulasi?
Model
pembelajaran simulasi bertujuan untuk:
- melatih keterampilan tertentu baik bersifat profesional maupun bagi kehidupan sehari-hari,
- memperoleh pemahaman tentang suatu konsep atau prinsip,
- melatih memecahkan masalah,
- meningkatkan keaktifan belajar,
- memberikan motivasi belajar kepada siswa,
- melatih siswa untuk mengadakan kerjasama dalam situasi kelompok,
- menumbuhkan daya kreatif siswa, dan
- melatih siswa untuk mengembangkan sikap toleransi.
3.
Apa saja Prinsip dalam Proses Pelaksanaan Simulasi?
Proses
simulasi tergantung pada peran guru/fasilitator. Ada empat prinsip yang harus
dipegang oleh fasilitator/guru, yakni sebagai berikut:
- Pertama adalah penjelasan. Untuk melakukan simulasi pemain harus benar-benar memahami aturan main. Oleh karena itu, guru/fasilitator hendaknya memberikan penjelasan dengan sejelas-jelasnya tentang aktivitas yang harus dilakukan berikut konsekuensi-konsekuensinya.
- Kedua adalah mengawasi (refereeing). Simulasi dirancang untuk tujuan tertentu dengan aturan dan prosedur main tertentu. Oleh karena itu guru/fasilitator harus mengawasi jalannya simulasi sehingga berjalan sebagaimana seharusnya.
- Ketiga adalah melatih (coaching). Dalam simulasi, pemain/peserta akan mengalami kesalahan. Oleh karena itu guru/fasilitator harus memberikan saran, petunjuk atau arahan sehingga memungkinkan mereka tidak melakukan kesalahan yang, sama.
- Keempat adalah diskusi. Dalam simulasi, refleksi menjadi bagian yang penting. Oleh karena itu, setelah simulasi selesai, fasilitator harus mendiskusikan beberapa hal antara lain: kesulitan- kesulitan, hikmah yang bisa diambil, bagaimana memperbaiki kekurangan simulasi dan sebagainya. (Hamzah B Uno,2007:29)
4.
Bagaimana Kaitan Antara Simulasi dengan Model Pembelajaran
?
Kaitan Simulasi dengan kelompok model pembelajaran, adalah: simulasi diarahkan pada model pembelajaran sosial. Simulasi sosial adalah simulasi yang dimaksudkan mengajak peserta melalui suatu pengalaman yang berkaitan dengan persoalan-persoalan sosial.
Menurut pengalaman sejumlah guru, metode simulasi dalam konteks model pemblajaran sosial sangat efektif digunakan jika guru menghendaki agar siswa menemukan makna diri (jati diri) di dalam dunia sosial dan memecahkan dilema atau masalah dengan bantuan kelompok. Jenis model pembelajaran sosial misalnya melalui bermain peran dan atau simulasi.
Dalam bermain peran, siswa belajar menggunakan konsep peran, menyadari adanya peran-peran yang berbeda dan memikirkan perilaku dirinya dan perilaku orang lain.
Kaitan Simulasi dengan kelompok model pembelajaran, adalah: simulasi diarahkan pada model pembelajaran sosial. Simulasi sosial adalah simulasi yang dimaksudkan mengajak peserta melalui suatu pengalaman yang berkaitan dengan persoalan-persoalan sosial.
Menurut pengalaman sejumlah guru, metode simulasi dalam konteks model pemblajaran sosial sangat efektif digunakan jika guru menghendaki agar siswa menemukan makna diri (jati diri) di dalam dunia sosial dan memecahkan dilema atau masalah dengan bantuan kelompok. Jenis model pembelajaran sosial misalnya melalui bermain peran dan atau simulasi.
Dalam bermain peran, siswa belajar menggunakan konsep peran, menyadari adanya peran-peran yang berbeda dan memikirkan perilaku dirinya dan perilaku orang lain.
5.
Apa Saja Fungsi Model Pembelajaran Sosial ?
Fungsi model pembelajaran sosial adalah:
Fungsi model pembelajaran sosial adalah:
- untuk menggali perasaan siswa,
- memperoleh inspirasi dan pemahaman yang berpengaruh terhadap sikap, nilai dan persepsi,
- mengembangkan keterampilan dan sikap dalam memecahkan masalah, dan
- mendalami mata pelajaran dengan berbagai cara.
6.
Bagaimana Aplikasi/ Penerapan Model Pembelajaran Simulasi?
- Permainan simulasi dapat merangsang berbagai bentuk belajar, seperti belajar tentang persaingan (kompetisi), kerja sama, empati, sistem sosial, konsep, keterampilan, kemampuan berpikir kritis, pengambilan keputusan dan lain-lain.
- Namun demikian, model simulasi agak berbeda dengan model-model lain. Model ini agak rumit, tergantung pada pengembangan simulasi yang tepat, baik yang melibatkan peneliti, pengembang, (sistem analis, programer dan lain-lain), perusahaan komersial, guru atau kelompok guru dan lain-lain.
- Dewasa ini, dengan semakin majunya teknologi komunikasi dan informasi, seperti komputer dan multimedia, telah banyak permainan simulasi dihasilkan untuk berbagai kebutuhan yang mencakup berbagai topik dari berbagai disiplin ilmu (mata pelajaran)
7.
Bagaimana Sintak (Prosedur/ langkah - Langkah) Pembelajaran Simulasi?
Menurut Joyce dan Weil (1980) dalam Udin (2001:66), model ini memiliki 4 tahap sebagai berikut:
Menurut Joyce dan Weil (1980) dalam Udin (2001:66), model ini memiliki 4 tahap sebagai berikut:
Tahap I. Orientasi
- Menyediakan berbagai topik simulasi dan konsep-konsep yang akan diintegrasikan dalam proses simulasi.
- Menjelaskan prinsip Simulasi dan permainan.
- Memberikan gambaran teknis secara umum tentang proses simulasi.
Tahap II. Latihan bagi peserta
- Membuat skenario yang berisi aturan, peranan, langkah, pencatatan, bentuk keputusan yang harus dibuat, dan tujuan yang akan dicapai.
- Menugaskan para pemeran dalam simulasi
- Mencoba secara singkat suatu episode
Tahap III.
Proses simulasi
- Melaksanakan aktivitas permainan dan pengaturan kegiatan tersebut.
- Memperoleh umpan balik dan evaluasi dari hasil pengamatan terhadap performan si pemeran.
- Menjernihkan hal-hal yang miskonsepsional
- Melanjutkan permainan/simulasi
Tahap IV. Pemantapan dan debriefing
- Memberikan ringkasan mengenai kejadian dan persepsi yang timbul selama simulasi.
- Memberikan ringkasan mengenai kesulitan-kesulitan dan wawasan para peserta.
- Menganalisis proses
- Membandingkan aktivitas simulasi dengan dunia nyata.
- Menghubungkan proses simulasi dengan isi pelajaran.
- Menilai dan merancang kembali simulasi.
8.
Apa Saja Kelebihan Dan Kelemahan Model Pembelajaran Simulasi?
Wina Sanjaya
(2007) menyatakan bahwa terdapat beberapa kelebihan dan kelemahan dengan
menggunakan simulasi sebagai metode mengajar.
Kelebihan Model pembelajaran ini di antaranya adalah:
- Simulasi dapat dijadikan sebagai bekal bagi siswa dalam menghadapi situasi yang sebenarnya kelak, baik dalam kehidupan keluarga, masyarakat, maupun menghadapi dunia kerja.
- Simulasi dapat mengembangkan kreativitas siswa, karena melalui simulasi siswa diberi kesempatan untuk memainkan peranan sesuai dengan topik yang disimulasikan.
- Simulasi dapat memupuk keberanian dan percaya diri siswa.
- Memperkaya pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diperlukan dalam menghadapi berbagai situasi sosial yang problematis.
- Simulasi dapat meningkatkan gairah siswa dalam proses permbelajaran.
Kelemahan model pembelajaran ini, di antaranya adalah:
- Pengalaman yang diperoleh melalui simulasi tidak selalu tepat dan sesuai dengan kenyataan di lapangan.
- Pengelolaan yang kurang baik, sering simulasi dijadikan sebagai alat hiburan, sehingga tujuan pembelajaran menjadi terabaikan.
- Faktor psikologis seperti rasa malu dan takut sering memengaruhi siswa dalam melakukan simulasi.
B. Hubungan stimulasi dan intervensi dengan deteksi dini
anak berkebutuhan khusus :
Deteksi dini adalah upaya penjaringan dan penyaringan
yang dilaksanakan untuk menemukan penyimpangan kelainan tumbuh kembang secara
dini dan mengetahui serta mengenal faktor-faktor resiko terjadinya kelainan
tumbuh kembang tersebut.
Sedangkan intervensi dini maksudnya adalah suatu kegiatan penanganan segera
terhadap adanya penyimpangan tumbuh kembang dengan cara yang sesuai dengan
keadaan, misalnya perbaikan gizi, stimulasi perkembangan atau merujuk ke
pelayanan kesehatan, dan pendidikan yang sesuai, sehingga anak dapat mencapai
kemampuan yang optimal sesuai dengan umumya.
Tumbuh kembang optimal adalah tercapainya proses tumbuh kembang yang sesuai
dengan potensi yang dimililki oleh anak. Dengan mengetahui penyimpangan tumbuh
kembang secara dini sehingga upaya-upaya pencegahan, stimulasi dan penyembuhan
serta pemulihannya dapat dengan jelas sedini mungkin pada masa-masa peka proses
tumbuh kembang anak sehingga hasilnya dapat diharapkan akan tercapai.
Tingkat-tingkat pelaksanaan deteksi dini
penyimpangan tumbuh kembang anak dan penangannya.
A. Tingkat keluarga/kelompok Bina Keluarga Ballia
(BK6)
1. Tugas dan peran keluarga:
Ø Memantau tumbuh kembang anak sesuai kelompok umur dengan memanfaatkan
sarana yang ada, seperti: KMS balita, Kartu Kembang Anak, Kalender Tumbuh
Kembang Anak.
Ø Melakukan stimulasi terhadap anak sesuai dengan tingkat perkembangan
perkembangan anak.
Ø Melaporkan dan membahas tmgkat perkembangan anak dengan kader
Posyandu/BKB.
Ø Melaksanakan stimulasi sesuai nasehat kader BKB/Posyandu dalam rangka
meningkatkan kemampuan anak.
2. Tugas dan peran Kelompok BKB:
Ø Memantau tumbuh kembang anak melalui ibu balita pada setiap pertemuan
kelompok dengan menggunakan sarana yang ada (13 LS balita, Kartu Kembang Anak,
Kartu Asuh Ibu, dll.)
Ø Memberikan penyuluhan dan cara stimulasi kepada ibu balita sesuai dengan
kelompok umur anak.
Ø Melakukan rujukan bagi setiap anak dengan penyimpangan tumbuh kembang.
Untuk melaksanakan tugas dan peran tersebut di atas, diperlukan
alat/instrumen yaitu:
1. Keluarga:
Ø Kalender Tumbuh Kembang Balita.
Ø Kartu Menuju Sehat (KMS).
Ø Kartu Kembang Anak (KKA).
Ø Buku pedoman Deteksi Dini Penyimpangan Tumbuh Kembang Anak bagi keluarga.
2. Kelompok BKB:
Ø Alat Permainan Edukatif.
Ø Kartu Asuh Anak.
Ø Kartu Kembang Anak.
Ø KMS Balita.
Ø Buku Paket Penyuluhan BKB
B. Pelaksam kegiatan deteksi dini dan intervensi
penyimpangan Tumbuh Kembang di tingkat Puskesmas
Tugas dan peran Puskesmas:
1. Pelayanan Balita dan Anak Prasekolah (Apras)
a. Memantau dan mendeteksi dini setiap balita yang berkunjung dan dirujuk
dengan cara:
Ø Mempelajari tumbuh kembangnya dalam KMS.
Ø Melakukan pemeriksaan antropometri dan rrencatat pads gmfik KMS.
Ø Melakukan deteksi dini dengan menggunakan pedoman tumbuh kembang anak dan
kartu tumbuh kembang.
Ø Menilai tumbuh kembang anak secara individu.
b. Menegakkan diagnose penyimpangan tumbuh kembang balita dan apras yang
berkunjung dan dirujuk.
c. Melakukan intervensi pada kelainan/gangguan clan masalah/penyimpangan
tumbuh kembang berupa:
Ø Intervensi pelayanan kesehatan sesuai dengan pedoman program (ISPA, Diane,
Campak, Malaria, Anameia, Infeksi Telinga) dan terhadap penyaldt lainnya sesuai
dengan buku pedoman pengobatan dasar di Puskesmas serta buku pedoman kerja
Puskesmas.
Ø Intervensi penyimpangan tumbuh kembang di tingkat pelayanan dasar.
Penanganan:
a. Penanganan langsung pada:
Ø Kelambatan motorik kasar.
Ø Gangguan bicara karena, kurang latihan.
Ø Gangguan motorik halus.
Ø Sosialisasi yang kurang (anak tak suka berkawan, suka mengganggu/menyerang
kawan).
Ø Malnutrisi dan anemia diberikan makanan tambahan dan sirup besi.
Ø Anak dengan berat badan di atas batas normal perlu diberi nasehat pembenan
makanan seimbang.
Ø Anak dengan kelainan khusus seperti: Muntah tanpa gangguan organic,
Gangguan buang air besar, Cengeng berlebihan, Penakut, Mengompol pada anak di
atas 5 tahun, d1l.
Kasus-kasus, tersebut ditangani mengacu pada buku pedoman pelayanan
kesehatan jiwa di puskesmas dan rumah sakit.
b. Merujuk kasus-kasus penyimpangan tumbuh kembang seperti:
Ø Autisme.
Ø Hiperaktif dan gangguan berkonsentrasi.
Ø Pengukuran lingkaran kepala anak (PLKA) tidak normal.
Ø Kelainan-kelainan benwWfungsi tubuh (hidrosefalus, spina, bifida,
strabismus).
Ø I-Epotiroidea.
Ø Perawakan pendek.
Ø Perawakan tinggi.
Ø Kasus-kasus yang tidak dapat ditangani langsung
c. Konseling (support dan maintenance untuk kasus-kasus yang tidak dapat ditangani lebih lanjut).
2. Pembinaan Kader, guru TK, pengelola TPA, pengelola Bina, Anaprasa (Bina.
Anak Prasekolah Desa)
C. Pelaksanaan kegiatan deteksi dan intervensi
dini tumbuh kembang di tingkat Rumah Sakit Kabupaten
Tugas dan peran Rumah Sakit Kabupaten:
1. Memantau dan mendeteksi dini setiap balita yang
berkunjung dan dirujuk ke rumah sakit.
2. Menegakkan diagnosis secara
multidisipliner penyimpangan tumbuh kembang balita yang berkunjung dan dirujuk.
3. Melakukan intervensi secara multidisipliner.
4. Merujuk penderita ke Rumah Sakit tipe B/Afinstansi kompeten.
5. Metaksanakan koordinasi dalam, menegakkan diagnosis dan melaksanakan.
Intervensi.
Sarana dan prasarana
Seyogyanya di setiap Rumah Sakit Kabupaten ada, unit pelayanan kesehatan
anak terpadu yang melibatkan beberapa. disiplin ilmu/keahlian yang dinamakan
Klinik Tumbuh Kembang Anak
Adapun tujuan Klinik Tumbuh Kembang Anak adalah sebagai berikut:
Tujuan umum:
Mengoptimalisasikan tumbuh kembang anak sesuai dengan potensi dan
keterbatasannya.
Tujuan khusus:
1. Mendeteksi, mendiagnosa, menstimulasi, mengobati, dan 'follow-up' anak
yang dirujuk ataupun datang sendiri dengan penyimpangan tumbuh kembang.
2. Merujuk kasus-kasus yang tidak dapat ditangani setempat ke pusat-rujukan
yang lebih lengkap atau instansi yang berkompeten atau Yayasan khusus sesuai
dengan kasus yang ditangani.
Tim Klinik Tumbuh Kembang terdiri atas:Dokter Anak,Dokter AM Kebidanan,
Dokter Ahli Syaraf, Dokter Ahli Radiologi, Ahli Gizi, Ahli Fisioterapi. Dokter
Ahli Mata, Dokter Ahli THT,Psikolog.
Untuk semua anggota tim perlu ditanamkan konsep Klinik Tumbuh Kembang dan
Rumah Sakit Kabupaten yang sudah mempunyai tim seperti di atas akan dapat
menjadi pusat rujukan baik dari Puskesman maupun dari Rumah Sakit Kabupaten
lain yang belum lengkap.
C. adapun kaitannya dengan anak usia dini :
1.
Karakteristik
anak usia dini
Batasan usia anak usia dini bisa bervariasi, tergantung pada dasar yang
digunakan. Pndangan mutakhir yang dianut di negara-negara maju, istilah anak
usia dini (early childhood) lajim digunakan untuk mendeskripsikan anak
dengan rentang usia 0-8 tahun. Bila dikaitkan dengan sistem pendidikan yang
berlaku di Indonesia, rentang usia tersebut mencakup anak pada kelas-kelas
rendah (1-3) di Sekolah Dasar, Taman Kanak-kanak (TK) dan yang sederajat,
Kelompok Bermain (Kober), dan anak di Tempat Penitipan Anak (TPA). Sesuai
dengan komunitas peserta pelatihan guru/kepela SD, ikhtisar bahasan anak usia
dini yang dimaksud di sini lebih dibatasi pada anak usia sekitar 4-7 tahun.
Lalu, siapa dan seperti apakah anak usia dini itu? Pertanyaan singkat ini
seperti mudah untuk dijawab, tetapi tidak pernah tuntas dibicarakan orang.
Pandangan para ahli pun tentang anak cenderung berbeda satu sama lain dan
berubah dari waktu ke waktu. Adakalanya anak dipandang sebagai individu yang
dibentuk oleh bawaannya, dan kadang-kadang pula ia dipandang sebagai individu
yang ditentukan oleh lingkungannya. Suatu waktu ia dianggap sebagai miniatur
orang dewasa, tapi pada kesempatan lain ia dianggap sebagai individu yang
berbeda secara total dari orang dewasa. Adanya perbedaan atau perubahan pandangan
tentang anak sebagaimana diilustrasikan di atas mengingatkan penulis akan
sebuah ungkapan yang berbunyi sebagai berikut: "The nature of child is a
gift of nature, but the image of child is a man's creation". Meskipun tak
sepenuhnya setuju dengan ungkapan tersebut, penulis dapat mengambil
sekurang-kurangnya dua makna yang terkait dengan bahasan tentang pembelajaran
berorientasi perkembangan ini.
Pertama, pernyataan tersebut menegaskan bahwa
pandangan dan persepsi masing-masing orang tentang anak bisa berbeda satu sama
lain dan bisa berubah dari waktu ke waktu, meskipun anak yang dipersepsikan
secara berbeda tersebut sesungguhnya masih merupakan anak yang sama. Ini
penting dicatat karena kenyataannya adalah bahwa cara pandang seseorang tentang
anak dapat mempengaruhi dan kadang menentukan cara perlakuan yang bersangkutan
dalam mendidik anak. Lebih lanjut, pemikiran ini mengimplikasikan pentingnya
kita, pendidik, berupaya untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif dan
akurat tentang anak sesuai dengan pengetahuan dan hasil berbagai studi terkini
tentang anak.
Kedua, ungkapan di atas juga menyiratkan bahwa
hakikat anak itu merupakan suatu misteri yang mungkin tidak pernah diketahui
secara pasti. Kerahasiaan hakikat anak ini membuat para ahli terus berpikir dan
mencari pengetahuan yang lebih benar tentang anak. Dan dari upaya-upaya mereka
itulah dihasilkan berbagai konsep, gagasan, dan pengetahuan tentang anak dan
cara pendidikannya sehingga dunia ilmu pengetahuan dan pendidikan anak terus
berkembang dari waktu ke waktu.
Meskipun relatif nisbi sifatnya, pengetahuan yang dihasilkan oleh para ahli
tentu bukan merupakan sesuatu yang sia-sia untuk dipelajari. Kita, umat
manusia, bahkan punya mandat untuk terus memikirkan dan mempelajari berbagai
fenomena kehidupan, termasuk dunia anak. Dengan demikian, adanya perbedaan dan
perubahan pandangan itu tiada lain merupakan anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa.
Karena pada syariatnya, perbedaan dan perubahan tersebut menyebabkan
berkembangnya ilmu pengetahuan secara terus-menerus. Terjadinya perubahan
pandangan juga bukan merupakan suatu kekeliruan masa lalu, melainkan lebih
merupakan refleksi dari dinamika pemikiran yang pada gilirannya menjadi anugrah
kemajuan yang diwariskan kepada umat manusia.
Selanjutnya, karena tidak adanya satu teori atau konsep yang mampu
menjelaskan seluruh fenomena perkembangan dan belajar anak secara lengkap,
kajian terhadap berbagai sumber terkini yang penulis temukan tentang
perkembangan dan belajar anak akan menjadi bagian awal dari proses penstrukturan
konsep pembelajaran berorietasi perkembangan. Hal ini sejalan dengan yang
ditempuh S. Bredekamp & C. Copple (1997:9) dalam mengkonseptualisasikan
praktek pendidikan yang berorientasi perkembangan (Developmentally
Approriate Practice) sebagaimana tercermin dalam pernyataannya sebagai
berikut: Because development and learning are so
complex, no one theory is sufficient to explain these phenomena. However, a
broad-based review of the literature on early childhood education generates a
set of principles to inform early childhood practice.
Mengingat begitu banyak dan luasnya pengetahuan, teori, dan/atau rujukan
tentang perkembangan anak, bahasan tentang anak di sini tidak secara serta
merta mengupas berbagai hal tentang anak. Aspek-aspek bahasan yang disajikan di
sini dengan sendirinya dipilih secara selektif sesuai dengan keperluan
penulisan makalah, yakni yang terkait dengan perilaku belajar anak. Cara studi
seperti ini menghasilkan suatu pemahaman tentang dunia anak yang secara singkat
dapat dideskripsikan sebagai berikut ini (Bredekamp, S., 1987; Bredekamp, S.
and Copple, C., 1997; Brenner, B. 1990; Peck, J.T., et al, 1987; Kellough, R.D.
et al, 1996).
Ø Anak bersifat unik. Masing-masing anak berbeda satu sama lain. Anak
memiliki bawaan, minat, kapabilitas, dan latar belakang kehidupan
masing-masing. Dengan demikian, meskipun terdapat pola urutan umum dalam
perkembangan anak yang dapat diprediksi, pola perkembangan dan belajarnya tetap
memiliki perbedaan satu sama lain. Di samping memiliki universalitas, menurut
Bredekamp (1987), anak juga memiliki keunikan tersendiri seperti dalam gaya
belajar, minat, dan latar belakang keluarga.
Ø Anak mengekspresikan perilakunya secara relatif spontan. Perilaku
yang ditampilkan anak umumnya relatife asli, tidak ditutup-tutupi. la akan
marah, kalau memang mau marah; dan ia akan menangis, kalau memang mau menangis.
la memperlihatkan wajah yang ceria di saat bergembira, dan ia memperlihatkan
muka murung ketika bersedih hati, tak peduli dimana ia berada dengan siapa.
Ø Anak bersifat aktif dan energik. Anak lajimnya senang melakukan
berbagai aktivitas. Selama terjaga dari tidur, anak seolah tak pernah berhenti
dari beraktivitas, tak pernah lelah, dan tak pernah bosan. Terlebih lagi kalau
anak dihadapkan pada suatu kegiatan baru dan menantang. Bagi anak, gerak dan
aktivitas merupakan suatu kesenangan. Anak akan lebih tahan untuk melakukan
sesuatu yang melibatkan gerakan fisik daripada duduk dan memperhatikan sesuatu
yang dijelaskan oleh guru. Lebih lanjut, aktivitas dan gerak fisik juga
merupakan kebutuhan belajar dan perkembangan. Gerakan-gerakan fisik sangat
esensial tidak hanya untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan fisik,
tetapi juga untuk meningkatkan dapat meningkatkan banyak bidang perkembangan
lainnya sosial, emosional, kreativitas, dan kognitif (Bredekamp, 1987; R. Pica,
1997).
Ø Anak itu egosentris. Dengan sifatnya yang egosentris, ia lebih
cenderung melihat dan memahami sesuatu dari sudut pandang dan kepentingannya
sendiri. Karena itu tidaklah heran kalau anak kadang masih berebut alat-alat
mainan, menangis bila menghendaki sesuatu yang tidak dipenuhi oleh orang
tuanya, atau memaksakan sesuatu terhadap orang lain. Karakteristik seperti ini
terkait dengan perkembangan kognitifnya. Menurut Piaget, anak seusia ini (2-7
tahun) sedang berada pada fase transisi dari fase praoperasional (2-7
tahun) ke fase operasional konkrit (7-11 tahun). Sementara pada fase
praoperasional pola berpikir anak bersifat egosentrik dan simbolik, pada fase
operasional konkrit anak sudah mulai menerapkan logika untuk memahami
persepsi-persepsi. Menurut Berk (1988), anak yang berada pada masa transisi ini
masih berpikir menurut kedua pola berpikir tersebut secara bergantian atau
kadang-kadang secara simultan. Misalnya, ia mengetahui jawaban yang benar untuk
sesuatu, tetapi tidak memahami logika di balik jawaban itu.
Ø Anak memiliki rasa ingin tahu yang kuat dan antusias terhadap banyak
hal. Karakteristik perilaku seperti ini terutama menonjol pada sekitar usia
4-5 tahun. Karena itu adalah sangat lajim jika anak pada usia ini banyak
memperhatikan, membicarakan, dan mempertanyakan berbagai hal yang sempat
dilihat dan didengarnya, terutama terhadap hal-hal yang baru. Dengan
karakteristik seperti ini, Peck, J.T., et al (1987) memandang masa anak usia
dini ini sebagai masa yang bergairah untuk belajar.
Ø Anak bersifat eksploratif dan berjiwa petualang. Terdorong oleh
rasa ingin tahu yang kuat terhadap segala hal, anak lajimnya senang menjelajah,
mencoba, dan mempeiajari hal-hal baru. la senang membongkar pasang alat-alat
mainan yang baru dibelinya. Kadang-kadang ia terlibat secara intens dalam
memperhatikan, mempermainkan, dan/atau melakukan sesuatu dengan benda-benda
yang dimilikinya
Ø Anak umumnya kaya dengan fantasi. Anak senang dengan hal-hal yang
bersifat imajinatif. la kadang-kadang dapat bercerita melebihi
pengalaman-pengalaman aktualnya atau kadang bertanya tentang hal-hal yang gaib
sekalipun. Ini berarti bahwa cerita dapat merupakan suatu kegiatan yang banyak
digemari oleh anak.
Ø Anak masih mudah frustrasi. Umumnya anak masih mudah menangis atau
mudah marah bila keinginannya tidak terpenuhi. Kondisi seperti ini terkait
dengan sifat
egosentrisnya yang masih kuat, sifat spontanitasnya yang masih tinggi,
serta rasa empatinya yang masih relatif terbatas.
Ø Anak masih kurang pertimbangan dalam melakukan sesuatu. Anak belum
memiliki rasa pertimbangan yang matang, termasuk berkenaan dengan hal-hal yang
membahayakan. Ini mengimplikasikan perlunya lingkungan perkembangan dan belajar
yang aman bagi anak sehingga anak dapat terhindar dari kondisi-kondisi yang
membahayakan.
Ø Anak memiliki daya perhatian yang pendek. Anak lajimnya memiliki
daya perhatian yang pendek, kecuali terhadap hal-hal yang secara intrinsik
menyenangkan. la masih sangat sulit untuk duduk dan memperhatikan sesuatu untuk
jangka waktu yang lama. Menurut Berg (1988), sepuluh menit adalah waktu yang
wajar bagi anak usia sekitar 5 tahun untuk dapat duduk dan memperhatikan
sesuatu secara nyaman.
Ø Anak merupakan masa belajar yang paling potensial. Masa anak usia
dini kadang disebut golden age atau magic years. Diungkapkan oleh
Brenner, B. (1990: 29), "Of all the ages and stages that children go
through, no time seems to have more potential for learning than these early
years". Guna mewujudkan pemahaman ini, sejak tahun 1990-an bahkan NAEYC
mengkapanyekan masa-masa awal kehidupan ini sebagai masa-masanya belajar dengan
slogannya sebagai berikut, "Early Years are Learning Years".
Ø Anak semakin menunjukkan minat terhadap teman. Seiring dengan perkembangan
keterampilan fisiknya, anak usia ini menjadi semakin berminat pada
teman-temannya. la mulai menunjukkan kemampuan untuk bekerja sama dan
berhubungan dengan teman-temannya. la sudah memiliki penguasaan sejumlah
perbendaharaan kata yang cukup untuk berkomunikasi dengan orang lain. Dalam
memilih teman, mereka masih melakukannya terutama berdasarkan kesamaan
aktivitas dan preferensi. Namun perlu diingat bahwa sikap egosentris anak pada
usia ini kadang-kadang masih melekat pada sikapnya.
Singkatnya, anak adalah sosok individu yang sedang menjalani suatu proses
perkembangan dengan sangat pesat dan sangat fundamental bagi kehidupan
selanjutnya. la memiliki dunia dan karakteristik sendiri yang jauh berbeda dari
dunia dan karakteristik orang dewasa. la sangat aktif, dinamis, antusias, dan
hampir selalu ingin tahu terhadap apa yang dilihat dan didengarnya, serta
seolah-olah tak pernah berhenti "belajar".
2.
Cara anak
berkembang dan belajar secara bermakna
Para ahli konstruktivis mengasumsikan bahwa pada
dasarnya anak itu memiliki kemampuan untuk membangun dan mengkreasi
pengetahuan. Menurut pandangan ini (Schickedanz, at al, 1990), pengetahuan pada
dasarnya dibangun. pengetahuan itu tidak terletak di manapun, melainkan
dibangun oleh anak dengan berinteraksi dengan lingkungannya.
Asumsi di atas mengimplikasikan bahwa keterlibatan,
kreativitas, dan inisiatif anak dalam proses belajar merupakan hal yang sangat
esensial. Suatu pengalaman belajar akan bermakna bagi anak kalau ia berbuat
atas lingkungannya. Kesempatan anak untuk mengkreasi dan/atau memanipulasi
objek atau ide merupakan hal yang utama dalam proses belajar. Dijelaskan oleh
Greenberg (1994) bahwa anak akan terlibat dalam belajar secara lebih intensif
jika ia membangun sesuatu daripada sekedar melakukan atau menirukan sesuatu
yang dibangun oleh orang lain. Secara lebih jauh, ia melukiskan suasana belajar
anak yang bermakna itu sebagai berikut (Greenberg, 1994: 88): Children learn as
they live, work, play, and converse with peers. As they exchange ideas, they challenge
each other every bit as much as many adults challenge them--to think, to
reconstruct their ideas because they have new information and viewpoints.
Sesuai dengan dunia anak, proses belajar juga perlu dibuat secara natural,
hangat, dan menyenangkan. Penerapan aktivitas yang bersifat bermain (playful
activity) serta kesempatan anak untuk berinteraksi dengan teman dan
lingkungan sekitarnya sangat diutamakan. Karena anak merupakan individu yang
unik dan sangat variatif, maka unsur variasi individual dan minat anak juga
sangat diperhatikan. Dengan kepedulian akan unsur ini, motivasi belajar anak
diharapkan akan muncul secara intrinsik.
Memperkaya pandangan para ahli konstruktivis, Vygotsky (Berk, 1994) sangat
menekankan pentingnya pengalaman interaksi sosial bagi perkembangan proses
berpikir anak. la meyakini bahwa aktivitas mental yang tinggi pada anak
terbentuk melalui dialog dengan orang lain. Kesimpulan ini tercermin dari
ungkapanya sebagai berikut: ...mind extends beyond the skin and inseparably joined
with other minds. Social experience shapes the ways of thinking and
interpreting the world available to individuals. ... higher forms of mental
activity are jointly constructed and transferred to children through dialogues
other people.
Berkenaan dengan konsep motivasi, para ahli
konstruktivis menjelaskan bahwa
motivasi itu muncul dari interaksi individu dengan pengalaman eksternal.
Sebagai hasil pengalaman terdahulu, setiap anak membawa segala pengetahuan yang
telah dimilikinya terhadap pengalaman-pengalaman barunya. Jika suatu pengalaman
belajar tidak memberikan kesempatan kepada anak untuk mengkreasi suatu
pengetahuan baru semuanya sudah familier atau terlalu mudah, maka pengalaman
itu akan membosankan. Sebaliknya, bilamana pengalaman belajar itu terlalu asing
bagi anak tak ada sedikitpun bekal pengetahuan anak yang berkaitan dengan
pengalaman barunya itu atau terlalu sukar, maka pengalaman itu akan mencemaskan
dan anak akan menarik diri atau menolak berhubungan dengan pengalaman baru itu.
Yang paling
tepat adalah apabila pengalaman belajar itu mengandung sebagian unsur yang
sudah familier bagi anak dan sebagian lainnya masih baru. Dalam situasi seperti
ini anak bisa tertarik untuk berinteraksi dengan pengalaman barunya itu dan
bisa memiliki kesempatan untuk memanipulasi atau mengkreasikan sesuatu
(Schickedanz, at al, 1990).
Bredekamp dan Rosegrant (1991/92) akhirnya
menyimpulkan bahwa anak akan belajar dengan baik dan bermakna bila:
1. Anak merasa aman secara psikologis serta kebutuhan-kebutuhan fisiknya
terpenuhi.
2. Anak mengkonstruksi pengetahuan.
3. Anak belajar melalui interaksi sosial dengan orang dewasa dan anak-anak
lainnya.
4. Kegiatan belajar anak merefleksikan suatu lingkaran yang tak pernah
putus yang mulai dengan kesadaran kemudian beralih ke eksplorasi, pencarian,
dan akhirnya ke penggunaan.
5. Anak belajar melalui bermain.
6. Minat dan kebutuhan anak untuk mengetahui terpenuhi.
7. Unsur variasi individual anak diperhatikan.
Dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip perkembangan
dan belajar anak secara umum, melalui penelusuran berbagai referensi dan
temuan-temuan ilmiah yang sangat komprehensif, Bredekamp, S. & Copple, C.
(1997) akhirnya sampai pada kesimpulan sebagai berikut ini.
Ø Ranah-ranah perkembangan anak: fisik, sosial, emosional, dan kognitif-saling
terkait secara erat. Perkembangan dalam satu ranah berpengaruh dan dipengaruhi
oleh perkembangan dalam ranah-ranah yang lain.
Perkembangan dalam satu ranah dapat membatasi atau memfasilitasi
perkembangan yang lain. Misal, keterampilan bahasa anak mempengaruhi
abilitasnya untuk membangun hubungan sosial dengan orang lain; begitu juga
keterampilan interaksi sosialnya dapat mendukung atau
menghambat perkembangan bahasanya. Ini mengimplikasikan bahwa pendidik
perlu sadar akan dan menggunakan saling keterjalinan ini dalam cara-cara yang
membantu anak berkembang secara optimal dalam seluruh bidang perkembangan dan
yang membuat hubungan yang bermakna antar ranah perkembangan tersebut.
Ø Perkembangan terjadi dalam suatu urutan yang relatif berurutan, dan
abilitas, keterampilan, serta pengetahuan selanjutnya dibangun berdasarkan apa
yang sudah diperoleh terdahulu.
Penelitian tentang perkembangan manusia
mengindikasikan bahwa urutan pertumbuhan dan perkembangan yang relatif stabil
dan dapat diprediksi terjadi pada anak selama masa usia dini.
Perubahan--perubahan yang dapat diprediksi terjadi dalam seluruh ranah
perkembangan-fisik, emosi, sosial, bahasa, dan kognitif-walaupun manifestasi
dari cara-cara perubahan tersebut serta makna yang melekat pada perubahan
tersebut bisa bervariasi dalam konteks kultur yang berbeda. Pengetahuan tentang
perkembangan anak ini memberikan kerangka acuan umum bagi guru dalam menyiapkan
lingkungan belajar, merencanakan tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran kurikulum
yang realistik, serta pengalaman-pengalaman belajar yang tepat.
Ø Perkembangan berlangsung dengan rentang yang bervariasi antar anak dan
juga antar bidang perkembangan dari masing-masing fungsi.
Variasi individual sekurang-kurangnya memiliki dua
dimensi, yakni variabilitas dari rata-rata perkembangan dan keunikan
masing-masing individu sebagai individu. Masing-masing anak merupakan pribadi
yang unik dengan pola dan waktu pertumbuhan individualnya, dan juga bersifat
individual dalam hal kepribadian, temperamen, gaya belajar, serta latar
belakang pengalaman dan keluarga. Dengan adanya sejumlah variasi di antara anak
yang berusia kronologis sama, usia anak harus diakui terbatas sebagai indeks
kasar tentang kematangan perkembangan. Lebih lanjut, pengakuan akan variasi individual
menuntut bahwa keputusan-keputusan tentang kurikulum dan interaksi
guru-anak sejauh mungkin diindividualisasikan. Penekanan pada ketepatan individual tidak sama dengan
"individualism". Alih-alih, pengakuan ini menuntut bahwa anak
dipertimbangkan tidak semata-mata sebagai anggota dari kelompok seusianya, yang
diharapkan berperikau sesuai dengan norma kelompok yang sudah ditentukan, tanpa
adaptasi akan variasi individual.
Ø Pengalaman-pengalaman awal memiliki pengaruh kumulatif dan tertunda
terhadap perkembangan anak. Periode-periode optimal terjadi untuk tipe
perkembangan dan belajar tertentu.
Pengalaman-pengalaman awal anak bersifat kumulatif
dalam arti
bahwa jika suatu pengalaman terjadi secara jarang, maka pengalaman itu bisa
memiliki sedikit pengaruh. Sebaliknya, jika pengalaman tersebut terjadi dengan
sering, maka pengaruhnya bisa kuat, kekal, dan bahkan semakin bertambah.
Pengalaman awal juga dapat memiliki pengaruh yang tertunda terhadap
perkembangan berikutnya. Misalnya, suatu upaya pembentukan perilaku yang
bersandar pada ganjaran-ganjaran ekstrinsik (seperti permen atau uang), suatu
strategi yang bisa sangat efektif untuk jangka pendek, dalam kondisi tertentu
dapat mengurangi motivasi intrinsik anak dalam jangka waktu yang lama. Lebih
lanjut, pada periode tertentu dari masa kehidupan, beberapa jenis belajar dan
perkembangan terjadi sangat efisien. Misalnya, tiga tahun pertama kehidupan tampak
menjadi periode yang optimal bagi perkembangan bahasa.
Dan walaupun ketertundaan perkembangan bahasa
(karena defisit secara fisik atau lingkungan) dapat diperbaiki lebih lanjut,
intervensi tersebut biasanya memerlukan upaya yang berat. Sama halnya,
usia-usia prasekolah tampak optimum bagi perkembangan gerak-gerak motorik yang
fundamental. Pada sisi lain, anak yang pengalaman-pengalaman motor awalnya
sangat terbatas bisa memerlukan upaya keras untuk memperoleh kompetensi fisik
dan juga bisa mengalami pengaruh-pengaruh tertunda ketika mencoba
berpartisipasi dalam olah raga atau aktivitas-aktivitas kebugaran dalam hidup
selanjutnya.
Ø Perkembangan berlangsung dalam arah-arah yang dapat diprediksi ke arah
kompleksitas, organisasi, dan internalisasi yang lebih meningkat.
Belajar selama usia dini berlangsung dari pengetahuan
behavioral ke pengertahuan simbolik atau representasional. Misalnya, anak sudah
belajar mengitari rumah dan setting keluarga lainnya jauh sebelum mereka
memahami konsep kata kiri dan kanan atau membaca peta rumah. Ini
mengimplikasikan perlunya memberikan kesempatan kepada anak untuk memperluas
dan memperdalam pengetahuan behavioral mereka dengan menyediakan sejumlah
pengalaman langsung dan dengan membantu anak memperoleh pengetahuan simbolik melalui
representasi pengalaman mereka dalam sejumlah media seperti gambar, konstruksi
model, bermain dramatik, deskripsi verbal dan tertulis.
Ø Perkembangan dan belajar terjadi dalam dan dipengaruhi oleh konteks
sosial dan kultural yang majemuk.
Menurut model ekologis, perkembangan anak sangat baik
dipahami dalam konteks sosiokultural keluarga, setting pendidikan, dan
masyarakat yang lebih luas. Konteks yang bervariasi tersebut saling
berikorelasi dan semuanya
memiliki pengaruh terhadap perkembangan anak. Pemahaman
ini menuntut guru untuk belajar tentang kultur mayoritas anak yang mereka
layani jika kultur mereka berbeda dengan
kulturnya. Namun,
mengakui bahwa perkembangan dan belajar dipengaruhi oleh konteks-konteks sosial
dan kultural tidak menuntut guru untuk memahami semua nuansa-nuansa
(perbedaan-perbedaan yang sangat kecil) dari setiap kelompok kultural yang ia
hadapi dalam kerjanya, ini merupakan tugas yang tidak mungkin.
Ø Anak adalah pembelajar akfif, mengambil pengalaman fisik dan sosial
serta juga pengetahuan yang ditransmisikan secara kultural untuk mengkonstruk
pemahaman mereka sendiri tentang lingkungan sekitar mereka.
Anak berkontribusi terhadap perkembangan dan
belajarnya sendiri di saat mereka berupaya memaknai pengalaman sehari-harinya
di rumah, sekolah, dan di masyarakat. Sejak lahir, anak secara aktif terlibat
dalam mengkonstruksi pemahaman mereka sendiri dari pengalaman mereka, dan
pemahaman ini diperantarai oleh dan secara jelas terkait dengan konteks
sosiokultural.
Ø Perkembangan dan belajar merupakan hasil dari interaksi kematangan
biologis dan lingkungan, yang mencakup baik lingkungan fisik maupun sosial
tempat anak tinggal.
Manusia merupakan produk dari keturunan dan
lingkungan, dan kekuatan-kekuatan ini saling berinterelasi. Kaum behavioris
berfokus pada pengaruh-pengaruh environmental sebagai penentu belajar,
sementara kaum maturationis menekankan hamparan yang sudah ditentukan
sebelumnya, yakni karakteristik heriditas. Masing-masing perspektif sampai
tarap tertentu benar, namun tak ada satu perspektif pun yang memadai untuk
menjelaskan belajar atau perkembangan. Dewasa ini, perkembangan lebih sering
dipandang sebagai hasil proses interaktif transaksional antara individu yang
tumbuh-berubah dan pengalamanpengalamannya dalam dunia sosial dan fisik.
Ø Bermain merupakan suatu sarana
penting bagi perkembangan sosial, emosional, dan kognitif anak, dan juga
merefleksikan perkembangan anak.
Aktivitas
bermain anak merupakan konteks yang sangat mendukung proses perkembangan.
Bermain memberi kesempatan kepada anak untuk memahami lingkungan, berinteraksi
dengan yang lain dalam cara-cara sosial, mengekspresikan dan mengontrol emosi,
serta mengembangkan kapabilitas-kapabilitas simbolik mereka. Aktivitas bermain
anak memberi orang dewasa wawasan tentang perkembangan anak dan kesempatan
untuk mendukung perkembangan dengan strategi-strategi baru.
Vygotsky
meyakini bahwa bermain mengarahkan perkembangan. Bermain memberikan suatu
konteks bagi anak untuk mempraktekkan keterampilan-keterampilan yang baru
diperoleh dan juga untuk berfungsi pada puncak kapasitas mereka yang berkembang
untuk mengambil peran-peran sosial baru, mencoba tugas-tugas baru dan
menantang, dan memecahkan masalah-masalah yang kompleks. Selain itu untuk
mendukung perkembangan kognitif, bermain memainkan fungsi-fungsi penting dalam
perkembangan fisik, emosi, dan sosial anak. Anak mengekspresikan dan
merepresentasikan ide-ide, pikiran, dan perasaan mereka ketika terlibat dalam
bermain simbolik. Selama bermain anak dapat belajar mengendalikan emosi,
berinteraksi dengan yang lain, memecahkan konflik, dan memperoleh rasa
berkemampuan. Melalui bermain, anak juga dapat mengembangkan imajinasi dan
kreativitas anak. Karena itu, bermain yang diinisiasi oleh anak dan didukung
oleh guru merupakan komponen yang esensial dari pembelajaran berorientasi
perkembangan.
Ø Perkembangan mengalami percepatan bila anak memiliki kesempatan untuk
mempraktekkan keterampilan-keterampilan yang baru diperoleh dan juga ketika
mereka mengalami tantangan di atas level penguasaannya saat ini.
Anak akan cenderung malas dan tidak termotivasi bila dihadapkan pada
kegiatan yang terlalu mudah dan tidak menantang. Sebaliknya, kegiatan yang
terlalu sulit dan membuat anak selalu gaga) akan mendorongnya mengalami
frustrasi. Pemahaman ini didasarkan pada pemikiran bahwa perkembangan dan
belajar adalah proses dinamis yang mempersyaratkan orang dewasa memahami
kontinum itu. Guru atau pendidik lainnya perlu mengamati anak dengan cermat
untuk mencocokkan kurikulum dan pembelajaran dengan kompetensi, kebutuhan, dan
minat anak yang muncul, clan kemudian membantu anak beralih dengan mentargetkan
pengalaman-pengalaman yang menantang mereka, tetapi tidak membuat mereka
frustrasi.
Ø Anak mendemonstrasikan mode-mode untuk mengetahui dan belajar yang
berbeda serta cara yang berbeda pula dalam merepresentasikan
apa yang mereka tahu.
Para ahli tenang belajar dan para ahli psikologi
perkembangan telah mengakui bahwa manusia memahami lingkungan dengan banyak
cara dan bahwa individu cenderung memiliki cara belajar yang lebih disukai atau
lebih kuat. Prinsip perbedaan modalitas ini mengimplikasikan bahwa guru harus
menyediakan tidak hanya kesempatan bagi individu anak untuk menggunakan
cara-cara belajar yang disukainya serta mempergunakan kekuatan-kekuatannya,
tetapi juga kesempatan untuk membantu
anak mengembangkan mode-mode atau kapabilitasnya yang kurang kuat.
Ø Anak berkembang dan belajar terbaik dalam suatu konteks komunitas yang
dirasa aman dan menghargai, memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisiknya, dan dirasa
aman secara psikologis.
Kondisi seperti ini akan mendorong anak untuk
berekspresi dan beraktualisasi secara optimal. Anak memiliki keleluasaan untuk
bergerak, berperilaku, dan menyatakan pendapat tanpa terbebani dengan
tekanan-tekenan psikologis. Begitu pun keamanan fisiknya terjamin sehingga ia
bisa terhindar dari hal-hal yang bisa membahayakan. Karena itu,
praktek-praktek pendidikan yang berorientasi perkembangan memperhatikan
kebutuhan-kebutuhan fisik, sosial, dan emosional serta juga perkembangan
intelektualnya.
BAB VI
SIMPULAN
SIMPULAN
identifikasi
dan asesmen dilakukan sebelum stimulasi dan intervensi dini kepada anak karena
identifikasi berkenaan dengan upaya menemukan anak-anak yang diduga beresiko
mengalami hambatan atau gangguan, asesmen berkenaan dengan upaya untuk menilai
atau mengetahui kelemahan dan kelebihan yang telah dimiliki anak. Sedangkan
stimulasi dan intervensi merupakan upaya pemberian perlakuan agar hambatan atau
gangguan tersebut dapat dicegah atau ditanggulangi. Identifikasi- asesmen dan stimulasi
-intervensi dapat dibedakan tetapi keduanya saling terkait.
Identifikasi-asesmen tanpa ditindaklanjuti dengan stimulasi- intervensi tidak
ada gunanya, dan stimulasi- intervensi tanpa didasarkan atas hasil identifikasi
dan asesmen juga tidak ada gunanya dan bahkan mungkin dapat menimbulkan
malapetaka.
Sesuai
dengan proses tumbuh kembang, pemantauan perlu dilakukan sejak awal yaitu
sewaktu dalam kandungan sampai dewasa. Dengan pemantauan yang baik akan dapat
dideteksi adanya penyimpangan secara, dini sehingga tindakan koreksi yang
dilakukan akan mendapatkan hasil yang lebih memuaskan.
Dengan kata
lain bila penyimpangan terdadi pada usia dini dan dideteksi sedini mungkin,
maka tindakan koreksi akan memberikan hasil yang memuaskan, sedangkan bila penyimpangan
tejadi pada usia dini tetapi baru dideteksi pada usia yang lebih lanjut, hasil
koreksi akan kurang memuaskan. Upaya untuk membantu agar anak tumbuh kembang
secara optimal dengan cara deteksi adanya penyimpangan dan intervensi dini
perlu dilaksanakan oleh semua pihak sejak mulai dari tingkat keluarga, petugas
kesehatan mulai dari kader kesehatan sampai dokter spesialis, dan di semua
tingkat pelayanan kesehatan mulai dari tingkat dasar sampai pelayanan yang
lebih spesialistis. Dengan telah adanya program deteksi dan intervensi dini
terhadap penyimpangan tumbuh kembang yang dilaksanakan di masyarakat melalui
program posyandu, program Bina Keluarga Balita (BYB), program di Puskesmas maka
sudah harus perlu dipikirkan sistim tatalaksana untuk fasilitas selanjutnya
sebagai sarana rujukan selanjutnya yang termasuk juga tempat rujukan yang
paling akhir yang dapat menangani secara holistik dan komplit.
Dalam, makalah ini akan dibicarakan kompetensi atau tugas dan peran dari
tiap, tingkat pelayanan mulai dari tingkat pelayanan dasar/keluarga sampai dari
tingkat pelayanan dasar/keluarga sampai tingkat pelayanan kesehatan yang ada.
di Rumah Sakit Kabupaten.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar